Gerakan Child Free: Sebuah Pilihan Hidup yang Kontroversial

Gerakan Child Free adalah sebuah pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Istilah Child Free mulai muncul di akhir abad 20 dari St. Agustine yang berdasar kepercayaannya, memiliki anak adalah termasuk perbuatan salah, karena menjebak jiwa dalam tubuh yang tidak kekal.

Namun, gerakan ini semakin meningkat sekitar tahun 2000-an seiring dengan perkembangan agenda feminisme yang bertujuan mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif.

Motivasi Gerakan Child Free

Ada berbagai alasan yang mendasari orang-orang memilih untuk menjadi Child Free. Beberapa di antaranya adalah:

  • Ingin fokus pada karier atau pengembangan diri
  • Ingin menikmati kebebasan dan kemandirian
  • Ingin menghemat biaya hidup dan lingkungan
  • Tidak ingin mengambil risiko kesehatan atau komplikasi kehamilan
  • Tidak ingin menghadapi tanggung jawab atau tekanan sosial sebagai orang tua
  • Tidak merasa tertarik atau cocok dengan peran sebagai orang tua
  • Tidak ingin melanjutkan garis keturunan yang bermasalah atau tidak sehat

Peduli Lingkungan?

Salah satu alasan yang cukup populer di kalangan orang-orang yang Child Free adalah kepedulian terhadap lingkungan. Mereka beranggapan bahwa dengan tidak memiliki anak, mereka dapat mengurangi jejak karbon dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh populasi manusia yang terus bertambah .

Menurut sebuah studi, memiliki satu anak lebih sedikit dapat mencegah 58.6 ton emisi karbon setiap tahun; bandingkan dengan hidup tanpa mobil (2.4 ton), menghindari penerbangan transatlantik pulang pergi (1.6 ton), atau menjadi vegetarian (0.8 ton) . Dengan demikian, orang-orang yang Child Free berharap dapat menyelamatkan planet ini dari krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Pro Kontra Child Free

Meskipun menjadi Child Free adalah hak pribadi setiap individu atau pasangan, namun gerakan ini masih menuai pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berpegang pada nilai-nilai agama dan budaya yang menganggap memiliki anak adalah sebuah kewajiban dan anugerah. Mereka cenderung menilai orang-orang yang Child Free sebagai egois, tidak normal, tidak bahagia, atau bahkan durhaka. Mereka juga khawatir bahwa gerakan Child Free akan menurunkan angka kelahiran dan menyebabkan masalah demografi di masa depan.

Namun, ada juga sebagian masyarakat Indonesia yang mendukung atau setidaknya toleran terhadap pilihan hidup Child Free. Mereka menghormati keputusan orang-orang yang Child Free sebagai bagian dari hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Mereka juga menyadari bahwa memiliki anak bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai kebahagiaan atau kesuksesan dalam hidup. Mereka berpendapat bahwa setiap orang memiliki preferensi dan tujuan hidup yang berbeda-beda.

Gerakan Child Free merupakan sebuah fenomena sosial yang menantang pandangan-pandangan tradisional tentang pernikahan dan keluarga. Gerakan ini membutuhkan pemahaman dan penghargaan dari semua pihak agar tidak menimbulkan konflik atau diskriminasi.
Gerakan ini juga membutuhkan edukasi dan sosialisasi agar tidak disalahpahami atau disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.