Percaya Tuhan, tak Percaya Ajaran

Saya sering dikontak oleh orang-orang yang tak relijius. “Saya sendiri, di tengah keluarga saya yang relijius,” katanya. Ada yang terang-terangan mengaku kepada keluarga, tidak lagi menjalankan agama. Ada yang diam-diam, untuk menghindari konflik, atau tepatnya perundungan.
Apakah mereka tidak percaya Tuhan atau ateis? Sebenarnya tidak. “Saya percaya Tuhan, kok. Saya sering berdoa. Saya cuma tidak setuju dengan ajaran agama saya. Menurut saya tidak patut hal-hal itu dianut,” katanya.

Kok bisa begitu? Bisa. Kepercayaan pada Tuhan ditanamkan saat manusia di usia dini. Kepercayaan itu mengendap di bagian otak paling primitif. Isi otak bagian itu sangat sulit dibongkar. Hampir setiap orang di negeri ini mendapat ajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan dan mengikutinya. Ini bukan wilayah nalar. Mau dijelaskan dengan nalar apapun, sulit untuk membongkar kepercayaan itu.
Tapi ajaran itu soal lain. Itu soal yang bisa dinalar, juga bisa dirasa. Ajaran-ajaran agama yang diajarkan belasan abad yang lalu, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masa itu, sangat sulit diterima oleh sebagian orang yang hidup pada abad ini. Ada sebagian yang bisa menerima, yaitu orang-orang yang memasukkan ajaran itu ke otak primitifnya. Sebagian lagi tidak bisa menerima. Nalarnya memberontak. Ia tidak mau mengikuti ajaran itu.

Bagi orang yang relijius, orang-orang seperti ini dianggap sekadar malas saja. Percaya Tuhan tapi malas melakukan ritual-ritual, malas terikat dengan ajaran-ajaran. Padahal bukan begitu. Mereka mengalami konflik batin karena disuruh mempraktikkan hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan situasi hidup saat ini.
Orang-orang yang masih mau tetap relijius memilih jalan lain, yaitu membuat tafsir-tafsir baru yang liberal. Ayat-ayat kitab suci ditafsir ulang, diberi konteks, sehingga pemberlakuannya bisa dibatasi hanya pada konteks tertentu saja. Atau, diberi tafsir yang sesuai dengan situasi saat ini. Dengan cara itu ajaran-ajaran agama diperbarui. Ini sebenarnya cara halus untuk meninggalkan ajaran agama.

Prinsipnya, ajaran agama yang lahir belasan abad lalu itu memang mustahil diikuti 100% sekarang. Praktik-praktik hidup orang relijius pun sudah banyak meninggalkan ajaran asli agama mereka. Hanya saja mereka tidak sadar. Kok bisa? Sebagian besar orang reelijius itu tidak tahu bagaimana agama mereka dipraktikkan dulu. Mereka cuma mengekor pada pemuka agama. Kata-kata pemuka agama mereka anggap sebagai kata-kata Tuhan.


Kepada orang-orang yang masih percaya Tuhan, pesan saya,”Kamu boleh membuat format apapun soal iman kamu. Kamu boleh mempercayai sosok Tuhan seperti apapun. Kamu boleh membayangkan dan memilih sosok Tuhan yang kamu sukai, yang membuat kamu nyaman. Kamu tak perlu bertuhan pada sosok Tuhan orang lain.”

Tulisan oleh FB: Hasanudin Abdurrakhman

Ditulis dalam Agama, syariat. Tag: , . Leave a Comment »

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.